Source : rgei.com
Pelaut yang hebat tidak akan lahir dari lautan yang tenang. Itu
tepat sekali jika dikaitkan dengan kiprah pengusaha Sukanto Tanoto. Pendiri dan
Chairman Royal Golden Eagle (RGE) ini bisa diibaratkan sebagai nakhoda
andal karena terbiasa mengantar kapalnya melewati badai besar dan gelombang
krisis.
Dunia bisnis memang bisa diibaratkan sebagai pelayaran di tengah
samudera. Sepanjang perjalanan pasti tidak akan selalu baik-baik saja. Terpaan
kondisi buruk laksana hujan badai dan gelombang tinggi di lautan rawan menerpa.
Kalau seperti itu yang dihadapi, keahlian khusus untuk melewati
masa-masa buruk diperlukan. Jika tidak, perusahaan yang diibaratkan seperti
kapal akan bisa karam dan kandas di samudera.
Beruntunglah RGE memiliki Sukanto Tanoto yang mengendalikan laju
perusahaan dengan andal. Ia selalu mampu melewati berbagai adangan krisis
dengan baik. Para pengusaha lain bisa belajar dari pria kelahiran Belawan ini
untuk mengatasi bahaya yang mengancam dalam situasi sulit.
RGE kini memang sudah menjadi korporasi kelas internasional.
Asetnya mencapai 20 miliar dolar Amerika Serikat dengan bisnis yang tersebar di
berbagai belahan dunia. Sayap bisnisnya terbentang dari Indonesia, Asia
Tenggara, India, Cina, bahkan sampai Brasil.
Namun, di balik keberhasilan yang kini diraih, perjuangan dan
kerja keras harus dilakukan oleh pendirinya, Sukanto Tanoto. Berkali-kali ia
harus mampu membawa RGE lolos dari jeratan krisis.
Salah satu momen paling kritis yang dihadapi terjadi pada sekitar
tahun 1997. Ketika itu gelombang krisis moneter melanda Asia. Indonesia juga
terkena efek dari situasi buruk tersebut. Dampaknya malah sangat berbahaya.
Nilai tukar rupiah atas mata uang lain seperti dolar AS jatuh dengan bebas.
Kondisi tersebut jelas sangat buruk bagi dunia bisnis. Banyak
pembiayaan yang dilakukan dalam mata uang asing. Tidak sedikit pula yang
menyicil kredit dalam dolar AS. Bisa dibayangkan jika nilai tukar dolar
meningkat pesat. Biaya kredit atau operasional bisa naik berkali-kali lipat.
Sukanto Tanoto juga mengalami situasi sulit tersebut. Bahkan, saat
itu, ia tengah membangun pabrik pulp dan kertas di Pangkalan Kerinci, Riau.
Lebih susah, ia mengandalkan pembiayaan pembangunan dari kredit bank yang mesti
dibayar dalam mata uang asing.
Akibatnya sangat berbahaya. Karena krisis mendadak nilai utang
naik berkali-kali lipat. Selain itu, kucuran kredit untuk melanjutkan
pembangunan pabrik juga terhenti. Ini berdampak ke semua hal yang mesti
dihentikan.
“Saat barang (mesin-mesin,
Red.) sudah sampai sini, lalu saya ke New York Capital Market. Ada uang 600
juta dolar AS. Pinjam lagi 1,4 miliar dolar AS baru cair. Dapat 300 juta-400
juta dolar AS. Masih enggak selesai. Kurang 1 miliar dolar AS. Bangunan mesin
terbengkalai. Bank lokal sudah tidak punya dolar sudah bangkrut semua,” ujar
Sukanto Tanoto kepada Bisnis.com.
Situasi sulit tersebut membuat Sukanto Tanoto berada di posisi
terjepit. Ia mesti mencari jalan agar bisa bertahan. Pasalnya, karena belum
selesai, pabrik pulp dan kertas belum dapat digunakan untuk memproduksi. Ini
membuat tidak ada aliran dana yang masuk.
Belum lagi kondisi kesulitan tenaga ahli membayangi. Saat itu,
sebagian mesin untuk pabrik pulp dan kertas memang datang. Namun, karena krisis
keuangan, mesin-mesin tersebut tidak terpasang. Banyak ahli yang seharusnya
memasang tidak mau datang karena Indonesia tengah dilanda krisis moneter.
“Saat itu, kondisi di sini, kalau belum selesai (pembangunan
pabrik pulp dan kertas, Red.) semua
habis (bisnis di RGE, Red.). Mau cashflow dari mana kalau mesin belum
dipasang. Sesudah pasang, baru bisa hasilkan pulp dan kertas. Waktu itu saya
khawatir bagaimana dengan krisis ini. Kapan selesainya,” papar Sukanto Tanoto.
ANCAMAN KEBANGKRUTAN
Source : aprilasia.com
Kondisi serba sulit tersebut membuat RGE berada dalam bahaya.
Perusahaan Sukanto Tanoto ini terancam bangkrut. Ini bukan main-main karena
situasi bisnis saat itu memang benar-benar buruk.
Sukanto Tanoto bahkan sudah bersiap-siap untuk kondisi terburuk.
Ia memaparkan kondisi nyata ke segenap pihak di perusahaan. Bahkan, ia telah
meminta keluarganya untuk siap kalau rumahnya akan dijual demi membayar utang.
Namun, secara prinsip Sukanto Tanoto sebenarnya tidak mau
menyerah. Ini yang harus ditiru oleh pengusaha lain. Ia tetap memikirkan cara
supaya benar-benar selamat menghadapi krisis yang menerpa.
Langkah yang dilakukan pertama ialah mencoba selalu berpikir
dengan kepala dingin. Sukanto Tanoto menjaga agar hatinya tetap tenang dan
tidak panik meski kondisi buruk membayangi. Ketenangan itu diperoleh dari
dukungan kuat keluarganya. Untuk itu, ia menyarankan pengusaha selalu punya
pihak lain yang bisa diajak berbagi seperti keluarga.
Setelah memperoleh dukungan dari keluarga, Sukanto Tanoto mulai
mencari solusi. Satu hal yang pasti, ia tidak mau RGE kandas. Ia tidak ingin
para karyawannya kesulitan karena perusahaannya mesti berhenti.
Akhirnya sebuah langkah diambil. Sukanto Tanoto memilih merelakan
melepas asetnya yang ada di Cina. “Nah,
akhirnya mikir. Ada aset pabrik kertas di Tiongkok yang kongsi dengan Amerika
Serikat, terus akhirnya saya ambil keputusan sulit itu. Saya jual. Aset di sana
terkumpul, lalu saya bawa 1 miliar dolar AS (ke Riau untuk pembangunan pabrik
pulp dan kertas, Red.). Itu
(keputusan) sulit, namun saya harus ambil pilihan itu,” kata Sukanto Tanoto.
Keputusan pahit yang diambil memberi angin segar terhadap RGE.
Perusahaan bisa beroperasi lagi. Pembangunan pabrik pulp dan kertas berlanjut.
Namun, Sukanto Tanoto juga mengambil risiko tinggi dengan menjalankan bisnis di
Indonesia. Pasalnya, krisis masih belum usai.
Akan tetapi, Sukanto Tanoto selalu mampu mengambil pola pikir
positif. Ia percaya krisis pasti bakal berakhir. Untuk itu, setelah berhitung
dengan cermat, ia akhirnya berani memutuskan untuk membawa dana hasil penjualan
aset ke Indonesia untuk membangun pabrik pulp dan kertas.
“Saat menjual aset yang di Tiongkok, saya bawa duit itu ke sini
pada 1999-2000. Waktu itu siapa mengira Indonesia bisa kembali seperti ini.
Sejak 1991, kondisi Indonesia bisa aman. Situasi waktu itu dan politik
demokrasi. Coba lihat negara-negara lain seperti Mesir berapa lama? Filipina,
Marcos pada 1986 turun dan sejak 1990-an belum apa-apa, sampai sekarang lumayan
baik. Namun mau ke mana negaranya kan belum tahu,” kata Sukanto Tanoto.
Hitung-hitungan yang cermat memang dibutuhkan dalam kondisi
krisis. Sukanto Tanoto seperti terlihat berjudi karena berani berinvestasi di
Indonesia yang masih belum stabil. Namun, hal itu menjadikan bisnisnya selalu
berada di depan.
Ketika situasi sudah membaik, perusahaan Sukanto Tanoto telah kuat di
pasaran. Perusahaan-perusahaan lain malah baru merintis usaha. Akibatnya,
Sukanto Tanoto mampu memenangi persaingan.
“Kami harus menyelesaikan pekerjaan (membangun pabrik pulp dan
kertas, Red.) dan beliau berani
berjudi terkait hal tersebut. Langkah menjual aset dari Cina dan diinvestasikan
ke Indonesia terbayar sudah. Karena langkah itulah, kami bisa di posisi ini,”
ujar Direktur RGE, Anderson Tanoto.
Pengusaha lain bisa meniru langkah tersebut. Ketika menghadapi
krisis, pastikan untuk mampu bersikap tenang. Dengan pikiran dingin, ambil solusi
yang diperhitungkan masak-masak. Dengan cara itulah Sukanto Tanoto selalu mampu
mengantar RGE melewati masa-masa sulit.
0 komentar:
Posting Komentar